Jumat, 28 Mei 2010

HASAN QUBHU


Pada dasarnya manusia itu menginginkan semua hal yang baik bagi dirinya. Namun terkadang apa yang diinginkan manusia itu tidak sejalan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagai Shohibus as Syari'ah. Sehingga timbul pertentangan di dalam diri manusia, apakah dia akan tetap melakukan hal yang menurutnya baik tersebut ataukah dia akan patuh pada Allah SWT yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak baik baginya?.
Dalam hal menentukan apakah hal ini baik atau tidak terdapat dua pendapat dari dua golongan yang berbeda. Golongan pertama adalah ahlu sunnah wal jama'ah yang mengusung kaidah:

الحسن ما حسّنه الشرع والقبيح ما قبّحه الشرع

"hal yang baik adalah hal yang baik menurut syari'at, dan hal yang buruk adalah hal yang buruk menurut syari'at"

Inilah kaidah yang dijadikan landasan ahlu sunnah wal jama'ah dalam menentukan baik dan buruknya suatu hal. Yang mana inilah pendapat yang benar, dengan berbagai alasan yang akan kita ulas nanti. Hal ini berseberangan dengan pendapat yang dilontarkan oleh golongan mu'tazilah atau golongan rasionalis yang lebih mengedepankan akal mereka sehingga memilih untuk melakukan hal yang dirasa oleh akal mereka baik, walaupun itu berseberangan dengan syaria't sebagaimana pendapat mereka yang berbunyi
الحسن ما حسنه العقل والقبيح ما قبحه العقل

"hal yang baik adalah hal yang baik menurut akal dan hal yang buruk adalah hal yang buruk menurut akal"

Sedangkan mereka memposisikan dalil atau nash yang telah ada dibawah naungan akall mereka, atau bahkan jika dalil tersebut tidak sesuai dengan akal mereka, mereka tidak segan untuk merevisi dalil tersebut atau bahkan tidak menggunakannya sama sekali. Mereka punya anggapan bahwa manusia itu mempunyai otoritas atas dirinya sendiri, Karena menurut pendapat mereka bahwa manusia itu bisa menciptakan pekerjaannya sendiri dengan kemampuan yang diberikan oleh Allah kepada mereka, sehingga Allah tidak punya kuasa untuk mencampuri apa yang dilakukan oleh hamba-Nya.
Kenapa harus dengan syari'at?
Bukankah kita diberi akal dan pikiran yang membantu kita untuk menentukan mana yang baik dan buruk bagi kita?! Itulah mungkin pertanyaan yang mereka lontarkan kepada kita yang menyatakan bahwa baik dan buruk itu menurut syari'at bukan menurut akal. Oleh karena akan coba kita bahas pertanyaan tersebut.
Pertama Kenapa harus dengan syari'at?! Kita harus tahu bahwa Allah sebagai Shohibus as Syari'ah (yang membuat perundang-undangan) menurunkan syari’at (peraturan) untuk makhluknya dengan tujuan menjadikan hidup makhluk-Nya menjadi lebih teratur dan lebih baik, karena segala yang ditentukan oleh Allah merupakan hal yang terbaik bagi makhluk-Nya. Walaupun terkadang hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang diinginkan atau yang diharapkan oleh si makhluk tersebut. Hal ini karena Allah mempunyai sifat Ar Rahim yang mana sifat ini memberi pengertian bahwa Allah senantiasa bersifat rahmah (pemurah) yang menyebabkan Allah selalu melimpahkan anugerah-Nya kepada makhluk-Nya. Ini sesuai dengan ayat:

إن الله بالناس لرؤوف الرحيم

"sesungguhnya Allah itu berbelas kasih pada manusia"

Dan diantara sekian banyak anugerah-Nya tersebut adalah syari'at Allah yang dibebankan kepada makhluk-Nya, karena Allah tidak akan berbuat dzalim pada hamba-Nya:

وما ربك بظلاّم للعبيد

"dan tidaklah Tuhanmu berbuat dzalim pada hamba-Nya"

Sekarang kita coba uraikan isykalan (sanggahan) yang kedua. Memang benar manusia itu diberi akal oleh Allah SWT yang bisa menuntun mereka dan menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Namun kita jangan lupa, bahwa disamping kita diberi akal oleh Allah SWT kita juga diberi makhluk yang bernama nafsu. Yang mana makhluk yang satu ini akan selalu mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang negatif.
Disamping nafsu dan akal ada lagi yang namanya thobi'ah (watak) atau yang dikenal dengan sebutan tabiat. Tabiat atau perangai manusia merupakan sifat dasar dari manusia yang berupa keinginan-keinginan yang mendasar yang ada pada manusia seperti kalau lapar ingin makan, haus ingin minum, lelah ingin istirahat dll. yang mana tabiat inilah yang membedakan manusia dari malaikat karena malaikat hanya diberi akal oleh Allah sehingga tidak membutuhkan hal-hal tersebut, disamping para malaikat juga tidak memiliki nafsu.
Disamping ketiga hal tersebut di atas yang ada pada manusia, ada lagi yang namanya Syaitan yang selalu menggoda manusia untuk mendurhakai Allah dan ada lagi Malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk menjaga manusia agar selalu menjalankan perintah-Nya. Kemudian apa hubungannya apa?! Begini, dari uraian di atas kita ketahui bahwa di dalam diri manusia terkandung tiga unsur. pertama akal yang didukung oleh malaikat yang selalu mengajak dan mendorong manusia pada sesuatu yang positif, kedua nafsu yang dibacking oleh syaitan yang selalu mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang negatif dan yang ketiga adalah tabiat atau perangai dasar manusia. Bila diibiratkan bahwa nafsu dan akal ibarat dua orang capres yang posisinya sama-sama kuat dan mempunyai tim sukses masing-masing yakni malaikat dan syaitan. sedangkan posisi tabiat ini adalah sebagai warga negara yang harus menentukan pilihan mana yang akan dijadikan pemimpin olehnya. Jadi ketika tabiat ini memilih akal maka nafsu akan kalah dan tunduk pada apa yang diinginkan oleh akal, begitu pula sebaliknya jika tabiat lebih condong dan memilih nafsu sebagai penguasa maka akal pun dengan terpaksa harus mengikuti apa yang diinginkan oleh nafsu. Sehingga tergambarkan bagaimana seseorang yang melakukan kemaksiatan yang tahu kalau itu adalah suatu dosa namun dia tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak melakukan hal tersebut. Kenapa bisa begitu? Ini dikarenakan ia sudah dikuasai oleh nafsunya, sehingga walaupun dengan akalnya yang sehat dia tahu kalau itu salah tapi tetap saja ia lakukan hal tersebut.
Karena itulah apa yang kita anggap baik itu belum tentu baik untuk kita karena mungkin apa yang kita pikirkan itu telah dipengaruhi oleh nafsu yang disponsori oleh syaitan yang nantinya kelak akan menimbulkan efek samping bagi kita sebagaimana firman Allah SWT:

كتب عليكم القتال وهو كره لكم وعسى أن تكرهوا شيئا وهو خير لكم وعسى أن تحبوا شيئا وهو شر لكم والله يعلم وأنتم لاتعلمون (البقرة جزء 2 الأية : 216 )
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui."

Dengan penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan, bahwa apa yang menurut kita baik belum tentu baik menurut syari’at dan begitu juga sebaliknya apa yang mungkin menurut pandangan kita itu jelek belum tentu syari’at juga memandang demikian. Maka dari itu, akal kita yang kita punya ini tidak bisa kita jadikan sebagai satu-satunya pedoman atau pijakan untuk menentukan apakah hal ini baik atau buruk bagi kita. Karena disamping adanya nafsu dan syaitan yang berpotensi menundukkan akal, tabiat manusia itu condong pada keinginan-keinginan yang cocok dengan nafsu, dan lagi akal kita juga punya batasan yang tidak mungkin dengan keterbatasan itu semua hal bisa kita proses melalui akal.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam syari'at terdapat hal-hal yang bersifat ta'abbudi ­dan ta'aqquli. Maksudnya ta'abbudi adalah bahwa undang-undang (syari’) yang ditetapkan oleh Allah SWT tersebut tidak ditemukan 'Illat (penjelasan atau alasan) secara logis, walaupun kadang ditemukan adanya hikmah di dalamnya, namun itu bukanlah 'Illat dari undang-undang tersebut. Sedangkan ta'aqquli adalah kebalikannya, maksudnya dalam undang-undang yang ditetapkan oleh Allah itu ditemukan penjelasan yang logis dan masuk akal.
Jika kita coba bandingkan mana yang lebih banyak antara yang ta'aqquli dan ta'abbudi maka kita akan temukan bahwa kebanyakan apa yang disyari'atkan oleh Allah itu bersifat ta'abbudi. Kenapa bisa begitu? Mungkin saja ini bertujuan untuk menguji hambanya apakah benar-benar taat kepada-Nya, ataukah dia akan berpaling dari-Nya hanya karena apa yang ditetapkan oleh-Nya tidak masuk akal. sebagaimana salah satu hikmah utama Allah menciptakan manusia. Kenapa kami disini menggunakan kata hikmah?, ini karena jika ibadah suatu hamba dijadikan alasan ‘illat penciptaan seorang hamba maka ini dapat memberikan kefahaman bahwa seoah-olah Allah itu butuh untuk disembah atau Allah gila hormat karena menciptakan hamba untuk menyembah-Nya dan kefahaman ini akan bertentangan dengan sifat Allah yaitu qiyamuhu binnafsih yang berarti Allah tidak membutuhkan pada makhluk, melainkan makhluklah yang butuh kepada-Nya. sebagaimana firman Allah SWT

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
"tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku"

Kata-kata ibadah pada ayat di atas bisa memberikan dua pengertian, yang pertama ibadah disini adalah ibadah mahdloh dalam artian melakukan ibadah-ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah semisal sholat, puasa dll entah itu ikhlas atau tidak yang penting sah dan bisa menggugurkan kewajiban. Dan yang kedua adalah sifat ubudiyyah (kemawulo.Jawa) yang artinya bahwa manusia itu benar-benar tunduk pada Allah SWT dhohir batin sebagaiamana tunduknya seorang budak pada majikannya. Jadi ketika Allah memerintahkannya untuk melakukan sesuatu maka akan langsung dilakukan tanpa banyak bertanya "kenapa harus begini? Begitu ? dst".
Akhirnya dari uraian diatas, mulai awal sampai akhir kita jadi tahu bahwa kita tidak bisa hanya mengandalkan akal kita dalam menentukan bahwa hal ini baik atau buruk, tapi juga harus didukung dengan dalil syar'i. Karena jika kita hanya mengandalkan akal dan mendewa-dewakan akal maka bisa-bisa kita menjadi liberal yang nantinya jika ada dalil yang tidak sesuai dengan logika maka dalil tersebut tidak digunakan dan akhirnya kita akan merobah tatanan-tatanan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT hanya karena hal tersebut tidak masuk akal.
Namun, kita juga tidak sepenuhnya menganggurkan akal kita karena pada zaman sekarang ini kita dituntut untuk bisa menjelaskan alasan suatu hukum pada masyarakat. Ini dikarenakan masyarakat kita sekarang ini selalu menuntuk alasan tentang suatu hukum atau kewajiban atas mereka, yang mana hal semacam ini tidak ditemukan pada masa-masa Rasulullah SAW dan zaman sahabat, karena pada zaman itu Islam masih murni dan belum bercampur dengan kebudayaan diluar Islam. Namun setelah lewat masa 300 Hijriyyah yang mana pada waktu itu adalah puncak kejayaan peradaban Islam yang mana Islam mampu menguasai daratan Eropa dan India. Maka dari situlah terjadilah yang namanya asimilasi atau percampuran kebudayaan Islam dengan kebudayaan setempat, termasuk masuknya pengaruh ilmu filsafat baik filsafat Yunani maupun filsafat sangsekerta yang lebih mementingkan rasio dan menolak hal yang tidak logis, sehingga pada waktu itu mau tidak mau para Ulama' harus membuat dalil aqli yang dapat diterima oleh akal manusia karena tuntutan zaman, sehingga muncullah ilmu mantiq yang diciptakan untuk mengimbangi ilmu-ilmu filsafat yang sudah ada, dan juga adanya penggabungan antara dalil naqli (Al-Qur'an dan hadits) dan dalil aqli, sehingga muncullah nama-nama Ulama' besar macam Al-Asy'ari dan Al-Maturidi.
Karena dengan alasan itulah kita tidak bisa mengabaikan akal kita begitu saja, karena jika kita tidak menggunakan akal kita maka kita akan mudah dikelabuhi oleh musuh-musuh kita dan kita akan dibodoh-bodohkan oleh mereka. Namun bila memang hal tersebut tidak bisa dijelaskan secara logis maka jangan dipaksakan, karena memang tidak semua hal itu bisa dijelaskan secara ilmiah.
Jadi marilah kita syukuri nikmat berupa akal ini dengan terus belajar dan mengkaji apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada Nabi-Nya dan diteruskan oleh sahabat beliau untuk membentengi aqidah diri kita dan keluarga kita juga saudara-saudara kita dari serangan-serangan golongan rasionalis yang dapat menggoyahkan iman kita. Karena sekarang adalah masanya peperangan yang tidak lagi main fisik tapi sekarang lebih condong pada perang pemikiran yang dampaknya mungkin lebih berbahaya dari pada perang fisik. Karena dampaknya langsung menyerang kepada akidah kita, yang mana jika kita ragu sedikit saja dalam masalah akidah maka kita bisa murtad. Apalagi konsep pemikiran yang ditawarkan oleh golongan rasionalis itu tentunya lebih cocok dengan akal kita yang mana sifat dari akal adalah menerima hal yang logis dan menolak hal yang tidak logis. Maka dari itu pada akhir tulisan ini kami coba menyitir sebuat dalil yang berbunyi:

الدين عقل ولادين لمن لاعقل له
"agama adalah akal (seorang yang beragama harus mempunyai ilmu), dan orang yang tidak berakal (tidak menggunakannya) maka agamanya kurang sempurna"

Namun sekali lagi kita tidak boleh hanya mengandalkan akal kita saja. Karena apa-apa yang dimiliki oleh manusia itu terbatas tidak muthlak, dan hanya Allah SWT lah yang memiliki kemuthlakan dan kesempurnaan.
Walhasil, kita ambil jalan tengah saja, maksudnya tidak terlalu liberal dalam artian terlalu mendewakan akal sehingga melupakan nash dan juga tidak terlalu ortodok sehingga kita tidak menggunakan akal kita sama sekali, jadi kita tetap berpegang pada nash dan menggunakan akal kita, namun jika akal dan nash ini berbenturan tentunya kita lebih mendahulukan nash. Wallahu a'lamu bi ash-showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar